INDONESIA VS MALAYSIA FENOMENA PERBATASAN NEGARA BERDAULAT
Berbicara soal batas wilayah yang memisahkan satu negara dengan negara lain merupakan permasalahan yang sangat konflek sekali. Tidak jarang hanpir disetiap negara sering terjadi konflik antar negara lebih banyak terpokus pada persoalan perbatasan.
Pada peraturan dan perundangan-undangan Dewan Kaamanan PBB tentang pengaturan dan kesepakatan perbatasan wilayah negara di dunia menyebutkan bahwa perbatasan adalah garis khayalan yang memisahkan dua atau lebih wilayah politik atau yurisdiksi seperti negara, negara bagian atau wilayah subnasional.
Perbatasan yang terdapat didaratan suatu wilayah biasanya ditandai dengan tanda-tanda patok atau tugu yang sudah menjadi kesepakatan bersama antara pemerintah negara-negara yang memiliki batas satu daratan dengan bukti kesepakatan yang ditandatangani bersama dibawah naungan Dewan Keamanan PBB yang menangani tentang perbatasan suatu batas negara berdaulat. Selain ditandai dengan patok atau tugu, perbatasan batas wilayah negara berdaulat bisa juga ditandai dengan bentangan memanjang bangunan berbentuk pagar batas yang tentunya berdasarkan kesepakatan bersama pula.
Sementara itu yang masih sangat sulit untuk ditandai dan dibuktikan dengan tanda yang akurat dan identik adalah soal tanda batas perbatasan wilayah yang memisahkan satu negara dengan negara lain yang berhubungan dilautan lepas dan batas wilayah penerbangan. Disinilah yang sering kali terjadi konflik antar negara dan warga perbatasan.
Di Indonesia sendiri soal perbatasan antar wilayah batas negara dengan negara tetangga lainnya hingga sekarang masih belum terselesaikan dengan tuntas. Pesoalan perbatasan di Indonesia dengan negara-negara tetangganya sering kali terjadi kesalahpahaman, dan hal itu sering terjadi pelanggaran yang banyak dilanggar oleh negara-negara tetangga, seperti batas wilayah perbatasan antara Indonesia Malaysia, Indonesia Singapura, Indonesia Philipina, Indonesia Papuanugini, Indonesia Timor Leste, dan Indonesia Australia.
Pelanggaran perbatasan batas suatu negara sering terjadi dilakukan oleh tingkah laku politik berkepentingan oleh salah satu negara perbatasan yang melibatkan warga masyarakat di perbatasan, militer dan perubahan peta perbatasan yang sepihak oleh negara yang menginginkan suatu perluasan wilayah yang banyak memiliki kandungan sumber alam.
Di Indonesia sendiri hal tersebut diatas sering terjadi semacam itu, dan biasanya selalu dimulai dengan provokasi ganda yang dilakukan oleh negara tetangganya. Baik dengan cara penyerobotan batas wilayah perbatasan dengan invansi militer, penghilangan tanda bukti batas perbatasan, pembangunan ilegal sebuah bangunan atau kawasan yang dibangun melebihi batas negara yang telah disepakati, atau juga adanya perubahan peta perbatasan yang sepihak yang dilakukan oleh negara bersangkutan(salah satu negara tetangga yang berkeinginan untuk memperluas wilayah teritorialnya dengan melakukan perubahan peta internasional soal tanda batas garis perbatasan wilayah negara secara ilegal dan sepihak).
MALAYSIA PELANGGAR PERBATASAN INDONESIA TERBANYAK
Ditahun 2008 - 2009, pelanggaran perbatasan nagara Indonesia dengan negara tetangganya sering banyak dilanggar oleh Malaysia. Ini terbukti dengan adanya pelanggaran perbatasan wilayah negara masih terus dilakukan oleh negara tetangga. Malaysia yang paling sering melakukan pelanggaran batas wilayah RI.
Hal itu terungkap pada rapat kerja (raker) Komisi I dengan menteri-menteri di jajaran Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam), di Jakarta, Senin (2 Maret 2009). Menkopolhukam Widodo AS (pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode I) itu memaparkan tentang berbagai pelanggaran terhadap wilayah RI yang terjadi dalam kurun waktu Januari hingga Desember 2008.
Dari catatan Kementrian Polhukam, Provinsi Kalimantan Timur adalah wilayah RI yang paling sering mengalami pelanggaran wilayah oleh negara lain. Untuk pelanggaran wilayah perbatasan perairan Indonesia, di perairan Kalimantan Timur dan seputar Laut Sulawesi telah terjadi 21 kali pelanggaran oleh Kapal Perang Malaysia dan enam kali oleh Kapal Polisi Maritim Malaysia.
Sementara di perairan lainnya sebanyak tiga kali, ucapnya. Dalam raker yang juga dihadiri Menteri Pertahanan, Kepala BIN, Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri itu, Widodo mengungkapkan, pelanggaran wilayah perbatasn udara paling banyak terjadi juga di wilayah Kalimantan Timur.
Selama 2008, terjadi 16 kali pelanggaran wilayah udara di Kaltim, sebutnya. wilayah lain yang juga mengalami pelanggaran kedaulatan udara antara lain tiga kali di Papua, dua kali di wilayah Selat Malaka dan tujuh kali di wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Sementara untuk pelanggaran wilayah darat, diantaranya berupa pemindahan patok-patok batas wilayah di Kalimantan Barat. Pemindahan patok batas terjadi di Sektro Tengah, Utara Gunung Mumbau, Taman Nasional Betung Kerihun, Kecamatan Putu Sibau, serta Kabupaten Kapuas Hulu, kata Widodo. Selain itu, mantan Panglima TNI ini melanjutkan, pelanggaran wilayah perbatasan darat juga dilakukan oleh para pelintas batas yang tidak memiliki dokumen yang sah.
Pada raker yang dipimpin Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga itu, Widodo juga menjelaskan perihal berbagai tindakan atas pelanggaran kedaulatan wilayah RI. Untuk pelanggaran wilayah darat, Departeman Luar Negeri RI telah mengirimkan sejumlah nota protes ke negara pelanggar. Kasus pelanggaran wilayah darat juga dibawa ke forum Genera Border Committe (GBC) Indonesia-Malaysia maupun Joint Border Committe (JBC) Indonesia-Papua Nugini. Dan untuk pelanggaran wilayah perairan dan udara nasional, telah direspon dengan pengusiran langsung oleh satuan operasional TNI, serta pengiriman nota protes oleh Deplu, tutur Widodo. (beritahankam)
Militer Diraja Malaysia Memasuki Wilayah Perairan Indonesia Di Ambalat
Ditahun 2010, tepatnya di bulan Agustus 2010 yaitu sebanyak tiga orang petugas dari KKP ditangkap oleh polisi perairan Malaysia setelah menangkap tujuh nalayan Malaysia yang ketahuan menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Tiga orang petugas dari KKP kemudian ditahan di Malaysia dan mereka dibebaskan dengan cara diberter dengan tujuh nelayan Malaysia.
Dalam peristiwa ini spontan mendapat banyak protes dari waga negara Indonesia, dan termasuk protes keras dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia terhadap pemerintahan Malaysia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Fadel Muhammad mengatakan Malaysia meremehkan Indonesia dengan memperlakukan tiga petugas dari kementeriannya yang ditangkap polisi air Malaysia kurang layak.
“Tiga orang petugas dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang ditangkap polisi air Malaysia ditahan dikantor polisi Malaysia, dipakaikan pakaian tahanan, dan pada saat keluar ruangan tangannya diborgol,” kata Fadel Muhammad pada diskusi polemik “Indonesia-Malaysia: Serumpun tapi Tidak Rukun” di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, perlakuan polisi Malaysia itu meremehkan Indonesia. Apalagi tiga orang tersebut adalah petugas resmi yang ditangkap saat menjalankan tugasnya yakni menangkap tujuh nelayan Malaysia yang ketahuan menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia.
Fadel meminta kepada pemerintah untuk bersikap lebih tegas karena kalau terus-menerus seperti ini ia mengkhawatirkan tindakan Malaysia akan semakin meremehkan Indonesia.
Sementara itu, Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Brigjen I Wayan Midhio mengatakan, pejabat di Kementerian Pertahanan bergaul banyak dengan pejabat di Kementerian Pertahanan maupun militer dari Malaysia.
“Setahu saya tidak ada pejabat militer Malaysia yang meremehkan Indonesia,” katanya.
Untuk menjaga pertahanan di wilayah perbatasan, kata dia, Kementerian Pertahanan melakukan kerja sama perthanan dengan Malaysia maupun dengan Singapura.
Insiden di Bintan, Kepulauan Riau yang melibatkan nelayan Malaysia, tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan serta pemerintah Indonesia dan Malaysia sebenarnya menunjukkan lemahnya pertahanan laut Indonesia.
” Kami minta kasus sengketa Malaysia jadi momentum membenahi pengelolaan wilayah perbatasan maritim” kata Mahfudz Sidik, Anggota Komisi Pertahanan DPR dalam diskusi di Jakarta, Sabtu 21 Agustus 2010.
Dalam diskusi itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengakui, pertahanan maritim Indonesia masih lemah. Ini karena kurangnya koordinasi antara satu pihak dengan lainnya. ” Dilihat dari yang berperan, harusnya lebih dari cukup. Tapi ini karena tak pernah ada kerjasama” kata Fadel.
Menurut Fadel, keamanan di laut Indonesia ditangani pasukan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Koordinasi Kemanan Laut, kepolisian, TNI Angkatan Laut, dan petugas dari bea cukai. “Saya sudah lapor Presiden untuk ditata, agar kejadian dengan Malaysia kemarin tidak terjadi lagi dan tidak saling menyalahkan,” kata Fadel.
Nantinya pengamanan kawasan maritim, Fadel berharap ditangani Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan.
Juru Bicara Kementerian Pertahanan I Wayan Midhio mengakui perlu ada kesepakatan untuk mengatur keamanan laut. “UU-nya belum ada, perlu dirancang untuk kepastian pembagian penjagaan,” kata Dia. (antasari.net-antaranews-tempo)
Peristiwa Tiga Orang Petugas dari KKP Ditangkap Oleh Polisi Perairan Malaysia
Masih di tahun 2010, didalam sebuah laporan yang ditulis oleh Diandra Megaputri Mengko pada sebuah situs online Gagasan Hukum melaporkan bahwa,
Insiden ‘pelanggaran’ wilayah perbatasan laut Indonesia-Malaysia yang terjadi di kawasan perairan Provinsi Kepulauan Riau sebenarnya sudah bukan yang pertama bagi Indonesia. Setiap tahunnya, Angkatan Laut Indonesia selalu melaporkan mengenai adanya ‘pelanggaran perbatasan’ yang dilakukan negara tetangga ini. Walaupun demikian, seharusnya dapat kita cermati kembali penggunaan kata ‘perbatasan’ dan ‘pelanggaran’. Kedua kata tersebut seharusnya ditempatkan kembali ke dalam posisi yang tepat dengan melihat aspek legal dan fakta di dunia serta kondisi di dalam negeri.
International Boundaries Research Unit (IBRU) di Universitas Durham mengidentifikasi bahwa dewasa ini masih terdapat ratusan perbatasan maritim internasional yang belum disepakati negara-negara yang berbatasan. Walaupun banyak di antara pertentangan tersebut hanya berlangsung pada tataran diplomasi, tidak tertutup kemungkinan hal itu memburuk dan terekskalasi menjadi konflik bersenjata. Masalah perbatasan antarnegara merupakan ancaman yang konstan bagi perdamaian dan keamanan internasional karena menyangkut kedaulatan yang sifatnya sering kali tidak dapat dinegosiasikan (non-negotiable), konflik teritorial ini tergolong pertentangan yang paling sulit dipecahkan.
UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) merupakan upaya dunia untuk menyatukan persepsi tentang penetapan batas laut beserta hak negara pantai pada setiap kawasannya. Kawasan ini dibagi menjadi kawasan laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Lebar wilayah dari setiap kawasan ini ditentukan secara maksimal pada konvensi ini (Contoh: maksimal 200 mil untuk penerapan zona ekonomi eksklusif). Penentuan lebar batas secara maksimal ini kerap dimanfaatkan negara-negara pantai untuk melakukan klaim wilayah secara maksimal pula. Apabila terdapat batas kurang dari yang telah ditentukan sebagaimana kesepakatan internasional, penyelesaiannya akan dilakukan melalui perundingan kedua belah pihak.
Pada titik inilah permasalahan perbatasan menjadi kompleks, karena kerap ada negara-negara yang lebih memilih untuk tidak bersedia merundingkan, dan mengklaimnya secara sepihak.
Ketidakjelasan dalam perbatasan laut ini akan memperbesar peluang munculnya insiden-insiden konflik ‘pelanggaran perbatasan’ seperti yang sebelumnya sudah sering terjadi. Seperti pepatah yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena adanya niat, melainkan juga adanya kesempatan. Bagaimana kita dapat bersepakat bahwa ada yang melanggar perbatasan apabila batas kedua negara pun belum ada?
Di dalam konteks perbatasan laut, Indonesia-Malaysia memiliki permasalahan perbatasan yang belum disepakati di empat kawasan. Yakni, Permasalahan klaim tumpang tindih wilayah zona ekonomi eksklusif di kawasan Selat Malaka bagian utara (Peta sepihak Malaysia 1979), belum ditetapkannya garis laut teritorial di kawasan Selat Malaka bagian selatan, belum ditetapkannya wilayah zona ekonomi eksklusif di kawasan Laut China Selatan, dan klaim Malaysia pada wilayah Ambalat di kawasan Laut Sulawesi (setelah Kasus Sipadan-Ligitan).
Kondisi ‘perbatasan tanpa batas’ yang sudah dibiarkan mengambang selama 65 tahun Indonesia merdeka ini akan terus menjadi bumerang bagi Indonesia dan Malaysia.
Hal ini sudah tentu dapat menjadi potensi konflik yang besar bagi hubungan Indonesia dan Malaysia apabila tidak diselesaikan, terlebih berada di beberapa kawasan yang krusial karena keempat kawasan tersebut tidak saja terkait dengan permasalahan kedaulatan, tetapi juga nilai ekonomi seperti jalur perdagangan, perikanan, dan sumber daya alam.
Sementara itu bagi pihak Indonesia sendiri selalu berusaha menempatkan posisi lebih mengedepankan upaya diplomasi yang lebih dikenal dengan istilah ‘diplomasi serumpun’ dengan Malaysia. Sebelum berangkat lebih jauh, penulis berpendapat bahwa Indonesia tidaklah serumpun dengan Malaysia, karena Indonesia memiliki berbagai kelompok etnik dari Sabang sampai Merauke, yang cukup banyak tidak terkait dengan rumpun Malaysia. Dengan demikian, lebih tepat apabila kita sebut istilah ‘diplomasi serumpun’ menjadi upaya diplomasi saja yang dilakukan sebagai upaya penyesuaian, yakni penghindaran konflik senjata dengan Malaysia.
Malaysia kerap melakukan provokasi-provokasi yang mengarah kepada konflik fisik seperti yang terjadi pada kawasan Laut China Selatan dan Laut Sulawesi. Pada kondisi ini, Indonesia cenderung bersifat reaktif terhadap aksi-aksi mereka. Hal ini menunjukkan kelemahan Indonesia yaitu suatu kecenderungan bertindak setelah terjadinya suatu isu di kawasan. Padahal sebetulnya, setelah isu tersebut berkembang, penyelesaian permasalahan perbatasan akan semakin rumit.
Hal seperti ini sebetulnya dapat dihindari apabila Indonesia telah menyelesaikan permasalahan perbatasan sebelum suatu isu menjadi besar. Pun, apabila telah dilakukan jauh sebelumnya, peluang pencapaian kesepakatan dalam ruang negosiasi juga masih besar. Sudah sepatutnya Indonesia mulai memberikan konsentrasinya pada permasalahan perbatasannya sebagai ‘ancaman yang konstan terhadap kedaulatan’.
Upaya penyesuaian perbatasan dapat dimulai dari kawasan yang tidak atau kurang memiliki isu hangat, misalnya kawasan Selat Malaka bagian selatan, tempat Malaysia dan Indonesia masih terbuka untuk melakukan pembicaraan mengenai perbatasan wilayah ini karena isu-isu yang terkait masih sangatlah rendah.
Sikap Malaysia yang cenderung menunda-nunda pembicaraan permasalahan perbatasan pada kawasan lainnya pada akhirnya akan merugikan pihak Indonesia. Perlu kita cermati dengan seksama sesungguhnya alasan di balik penundaan yang dilakukan Malaysia ini.
Penggunaan instrumen diplomasi di dalam penyelesaian permasalahan perbatasan tidaklah cukup. Indonesia harus dapat melakukan upaya diplomasi total yang dikombinasikan dengan upaya secara politik, ekonomi, sosial budaya, ataupun militer secara bersamaan untuk terus mendorong Malaysia agar mau mempercepat proses negosiasi perbatasan di antara kedua negara sebelum isu atau permasalahan lain berkembang dan kondisi semakin rumit.
Apabila sebelumnya ada pernyataan bahwa Indonesia tidak dapat ‘membayar’ kondisi perang dengan Malaysia karena akan menyebabkan perkembangan ekonomi Indonesia terhambat, pertanyaan selanjutnya apakah kita lebih memilih ‘membayar’ kondisi ketidakjelasan batas dengan harga insiden-insiden yang terjadi ?. (Media Indonesia, 31 Agustus 2010)
Heli Tentara Malaysia Halangi Penangkapan Kapal Malaysia
Ditahun 2011 ini, belum tuntas Malaysia bermasalah dengan Indonesia soal perbatasan wilayah negaranya yang terbelah dengan selat, lautan dan daratan, kembali Malaysia membuat permasalahan baru. Seperti yang terkutip dibeberapa media cetak dan elektronika di Indonesia baru-baru ini tersiar kabar bahwa telah terjadi insiden di perairan selat Malaka yang dilakukan oleh dua buah kapal nelayan berbendera Malaysia.
Indonesia dan Malaysia kembali terlibat insiden perbatasan. Tim Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) menangkap dua kapal nelayan berbendera Malaysia, Kamis (7 April 2011), lantaran memasuki perairan wilayah Indonesia.
Atas penangkapan itu,Kementerian Luar Negeri Malaysia mengirimkan nota protes kepada Pemerintah Indonesia. Mereka justru menganggap aparat Indonesia telah memasuki perairan Malaysia.
”Kami ingin memastikan di mana dua kapal yang ditahan dan akan terus mencari informasi mengenal hal ini,” ujar juru bicara Badan Penegakan Maritim Malaysia (APMM) yang tidak disebutkan namanya. Insiden penangkapan itu ramai diberitakan media massa Malaysia kemarin. Seperti diberitakan The Star mengutip keterangan Kementerian Pertahanan Malaysia,penangkapan dua kapal oleh aparat Indonesia diwarnai ketegangan.
Awalnya, kapal patroli aparat Indonesia mengejar dua kapal nelayan Malaysia yang diduga melanggar perbatasan. Begitu mendapatkan laporan pengejaran itu,empat helikopter Angkatan Laut Malaysia dan APMM diterbangkan untuk mencari dua kapal nelayan tersebut. Petugas APMM dengan menggunakan pengeras suara lantas memerintahkan aparat Indonesia agar melepaskan kapal-kapal Malaysia.
Tapi, instruksi tersebut diabaikan aparat Indonesia.”Aparat Indonesia justru mengarahkan senjata ke arah helikopter Malaysia,” demikian keterangan Kementerian Pertahanan Malaysia. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Syahrin Abdurahman,membenarkan penangkapan dua kapal nelayan berbendera Malaysia.
Penangkapan tersebut berawal dari operasi bersama yang digelar Bakorkamla di wilayah perairan Indonesia. Operasi ini melibatkan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Polair, dan Angkatan Laut (AL). Dia menjelaskan,berdasarkan hasil pantauan global positioning system(GPS),kedua kapal tersebut tertangkap telah memasuki perairan Indonesia sejauh 2–3 mil.
Saat ditangkap, kedua kapal tengah mencuri ikan dengan menggunakan jaring trawltanpa dilengkapi izin dari Pemerintah Indonesia.
”Karena memasuki perairan Indonesia, makanya kita tangkap. Kita menjalankan tugas sesuai dengan undangundang menjaga kedaulatan negara dan peraturan internasional,” ujarnya saat dihubungi harian pers. Abdurahman menjelaskan, kedua kapal Malaysia ditangkap oleh Kapal Hiu 001 yang tengah berpatroli pada Kamis (7 April 2011) sekitar pukul 11.20 WIB. Kapal pertama KF 5195 ditangkap pada posisi 04.40,50 N, 99 -15,00 E, sedangkan kapal lainnya ditangkap sekitar pukul 11.50 WIB berikut lima anak buah kapal (ABK) di tiap kapal yang merupakan warga negara Thailand.
Dia mengakui dalam penangkapan tersebut sempat terjadi ketegangan lantaran helikopter Malaysia membayangi kapal patroli.Namun, petugas gabungan tidak gentar karena lokasi tersebut merupakan wilayah perairan Indonesia. Abdurahman mengatakan, saat ini seluruh perairan Indonesia memang kerap menjadi incaran para pelaku illegal fishing yang dilakukan negaranegara tetangga. Hal ini lantaran perairan Indonesia memiliki sumber daya alam berupa ikan yang melimpah.
”Seluruh wilayah kita diincar karena banyak ikan. Sementara di negara tetangga sudah rusak akibat pengelolaan yang semenamena, dikeruk terus sampai ke karangnya,”ujarnya.
Berdasarkan data, kasus pencurian ikan di perairan Indonesia oleh Malaysia cenderung meningkat. Pada Desember 2010 lalu tercatat 10 kapal nelayan milik Malaysia yang ditahan petugas karena melakukan illegal fishing. Adapun sejak Januari hingga April tercatat sudah 24 kapal Malaysia yang ditangkap petugas karena melanggar perbatasan untuk mencuri ikan.
”Dari seluruh kapal Malaysia yang ditangkap, tidak ada warga negara Malaysia.
Biasanya orang-orang dari Vietnam, Thailand. Jumlah yang ditahan tidak banyak karena setiap kapal biasanya hanya tiga hingga lima orang,”terangnya. Mengenai sikap keberatan Malaysia, Abdurahman mengaku tidak mempermasalahkan karena penangkapan dilakukan sudah berdasarkan peraturan dan bukti-bukti.”Kalau mau komplain silakan saja,” ucapnya.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan Yulistyo Mudho mengatakan, saat ini kedua kapal ditahan di Lantamal Belawan,Medan,Sumatera Utara,untuk menjalani pemeriksaan dan penyelidikan oleh petugas.
”Soal insiden itu betul, mereka coba intervensi supaya tidak ditahan, tapi tetap kita giring ke wilayah terdekat ke Lantamal Belawan. Kalau dia (Malaysia) mau protes, silakan,”tandasnya. Yulistyo menambahkan,seringnya insiden di perairan yang berbatasan dengan negara tetangga disebabkan tidak adanya peraturan batas laut.
Karena itu, pihaknya mendorong Kementerian Luar Negeri untuk segera menyelesaikan pembuatan peraturan bersama soal batas laut.
”Sampai sekarang belum ada peraturan batas laut di semua lini dengan negara tetangga, itu harus segera diselesaikan dengan cepat,” katanya.
Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Belawan Mukhtar menuturkan, dua kapal nelayan Malaysia tersebut adalah KM KF 5325 GT. 75,80 yang dinakhodai Mr Kla dan KM KF 5195 GT 63,80 dengan nakhoda Mr Nhoi.Kedua kapal tersebut ditahan atas tuduhan memasuki wilayah perairan Indonesia dan melakukan pencurian ikan. ”Mereka tidak bisa menunjukkan dokumen resmi izin menangkap ikan di perairan Indonesia,makanya kita amankan,” ungkap Mukhtar. (seputar_indonesia).
Dengan berbagai persoalan yang terungkap diatas adalah segudang permasalahan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintahan Republik Indonesia, baik secara jalur Militer maupun Diplomatik.
Namun biar bagaimana pun peliknya persoalan perbatasan batas wilayah negara antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya, Indonesia selalu memiliki kebijakan yang sangat lunak, yaitu permasalahan konflik perbatasan lebih mengedepankan dialok diplomatik dengan negara-negara tetangganya. Itulah Indonesia yang lebih suka perdamaian ketimbang peperangan.
Namun akan tetapi bagi rakyat Indonesia keseluruhan bahwa jalur diplomatik yang sering dilakukan Indonesia lebih cenderung selalu disepelekan oleh negara-negara tetangganya yang senang menyerobot daerah perbatasan negara Indonesia, hal ini sering dilakukan oleh pihak Malaysia. Maka banyak pengharapan bagi rakyat Indonesia bahwa Malaysia lebih baik di lawan dengan kekuatan militer.
Mengapa demikian?. Selama sepanjang sejarah soal perbatasan wilayah antara Indonesia dan Malaysia, Malaysia-lah yang sering melakukan tindakan provokasi terhadap Indonesia soal perbatasan dengan berbagai cara yang dihalalkan Malaysia. Hal ini sudah banyak terbukti. Bukan soal perbatasan saja yang menjadi keserakahan Malaysia, soal budaya dan kesenian Indonesia serta lainnya, Malaysia senang mengklaemnya. Inilah sifat dan watak buruk saudara serumpun Indonesia. Padahal Indonesia sendiri lebih menghargai dan menghormati Malaysia sebagai saudara serumpun di kawasan ASEAN pada khususnya, dan di Asia pada Umumnya.
Atas semua peristiwa dan kejadian yang sering terjadi diwilayah perbatasan teritorial Republik Indonesia sebenarnya perlu kita akui bahwa Indonesia sendiri masih banyak kelemahannya tentang pengawasan dan pemantauan batas wilayah-wilayah perbatasan itu sendiri. Dan itulah penyebabnya sehingga dengan mudah wilayah teritorial Indonesia selalu menjadi makanan empuk provokasi negara lain soal perbatasan.
Maka dengan demikian tugas segenap bangsa Indonesia dari sabang sampai maeroke berkewajiban untuk terus bersatu mempertahankan dan mengamankan keutuhan wilayah Indonesia, baik laut, darat dan udara. Selain itu Indonesia juga harus segera memperhatikan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM serta peralatannya yang berhubungan untuk alat pertahanan dan keamanan wilayah teritorial Republik Indonesia. Tugas ini adalah tugas bersama antara rakyat dan pemerintah pusat maupun daerah. Militer dan alat pertahanan lainnya perlu diperbaharui, termasuk SDM-nya sendiri perlu ditingkatkan kualitasnya.
Kalau semua itu bisa dilaksanakan dengan baik oleh segenap rakyat dan pemerintahan, niscaya soal penyerobotan dan provokasi tentang perbatasan teritorial Republik Indonesia dapat dipertahankan dan diamankan.
Catatan Penting Perbatasan
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer, memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Perbatasan darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda.
Demikian pula negara tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG). Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil.
Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga.
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM-Nasional 2004-2009) telah menetapkan arah dan pengembangan wilayah Perbatasan Negara sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Pembangunan wilayah perbatasan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan misi pembangunan nasional, terutama untuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah, pertahanan keamanan nasional, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah perbatasan. Paradigma baru, pengembangan wilayah-wilayah perbatasan adalah dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi “inward lookingâ€, menjadi “outward looking†sehingga wilayah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga.
Pendekatan pembangunan wilayah Perbatasan Negara menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dengan tidak meninggalkan pendekatan keamanan (security approach). Sedangkan program pengembangan wilayah perbatasan (RPJM Nasional 2004-2009), bertujuan untuk : (a) menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh Hukum Internasional; (b) meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga. Disamping itu permasalahan perbatasan juga dihadapkan pada permasalahan keamanan seperti separatisme dan maraknya kegiatan-kegiatan ilegal.
Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2006 (RKP 2006) telah pula menempatkan pembangunan wilayah perbatasan sebagai prioritas pertama dalam mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah, dengan program-program antara lain : Percepatan pembangunan prasarana dan sarana di wilayah perbatasan, pulau-pulau kecil terisolir melalui kegiatan : (i) pengarusutamaan DAK untuk wilayah perbatasan, terkait dengan pendidikan, kesehatan, kelautan dan perikanan, irigasi, dan transportasi, (ii) penerapan skim kewajiban layanan publik dan keperintisan untuk transportasi dan kewajiban layanan untuk telekomunikasi serta listrik pedesaan; Pengembangan ekonomi di wilayah Perbatasan Negara; Peningkatan keamanan dan kelancaran lalu lintas orang dan barang di wilayah perbatasan, melalui kegiatan : (i) penetapan garis batas negara dan garis batas administratif, (ii) peningkatan penyediaan fasilitas kapabeanan, keimigrasian, karantina, komunikasi, informasi, dan pertahanan di wilayah Perbatasan Negara (CIQS); Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah yang secara adminstratif terletak di wilayah Perbatasan Negara.
Komitmen pemerintah melalui kedua produk hukum ini pada kenyataannya belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena beberapa faktor yang saling terkait, mulai dari segi politik, hukum, kelembagaan, sumberdaya, koordinasi, dan faktor lainnya.
Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan dimasa lalu bahwa daerah perbatasan merupakan wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan.
Sebagai wilayah perbatasan di beberapa daerah menjadi tidak tersentuh oleh dinamika sehingga pembangunan dan masyarakatnya pada umumnya miskin dan banyak yang berorientasi kepada negara tetangga. Di lain pihak, salah satu negara tetangga yaitu Malaysia, telah membangun pusat-pusat pertumbuhan dan koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya. Demikian juga Timor Leste, tidak tertutup kemungkinan dimasa mendatang dalam waktu yang relatif singkat, melalui pemanfaatan dukungan internasional, akan menjadi negara yang berkembang pesat, sehingga jika tidak diantisipasi provinsi NTT yang ada di perbatasan dengan negara tersebut akan tetap tertinggal.
Dengan berlakunya perdagangan bebas baik ASEAN maupun internasional serta kesepakatan serta kerjasama ekonomi baik regional maupun bilateral, maka peluang ekonomi di beberapa wilayah perbatasan darat maupun laut menjadi lebih terbuka dan perlu menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan wilayah tersebut.
Kerjasama sub-regional seperti AFTA (Asean Free Trade Area), IMS-GT (Indonesia Malaysia Singapura Growth Triangle), IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle), BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipina-East Asian Growth Area) dan AIDA (Australia Indonesia Development Area) perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga memberikan keuntungan kedua belah pihak secara seimbang. Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi internasional dan sub-regional tersebut Indonesia perlu menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara tetangga yang menyebabkan sumberdaya alam yang tersedia terutama di wilayah perbatasan akan tersedot keluar tanpa memberikan keuntungan bagai masyarakat dan pemerintah.
Sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kerjasama bilateral dan sub-regional perlu disiapkan. Penyediaan sarana dan prasarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar, oleh karena itu diperlukan penentuan prioritas baik lokasi maupun waktu pelaksanaannya.
Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan ini diharapkan dapat memberikan prinsip-prinsip pengembangan wilayah Perbatasan Negara sesuai dengan karakteristik fungsionalnya untuk mengejar ketertinggalan dari daerah di sekitarnya yang lebih berkembang ataupun untuk mensinergikan dengan perkembangan negara tetangga. Selain itu, kebijakan dan strategi ini nantinya juga ditujukan untuk menjaga atau mengamankan wilayah Perbatasan Negara dari upaya-upaya eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang dilakukan dengan dorongan kepentingan negara tetangga, sehingga kegiatan ekonomi dapat dilakukan secara lebih selektif dan optimal.(kawasan.bappenas.go.id)